Dualisme HKTI Kota Tasikmalaya, Iwok: Refleksi Kekuasaan, Bukan Aspirasi Petani 

Jun 20, 2025 - 17:24
Dualisme HKTI Kota Tasikmalaya, Iwok: Refleksi Kekuasaan, Bukan Aspirasi Petani 

INILAHTASIK.COM | Dunia pertanian kembali menjadi panggung politik. Bukan karena lonjakan produktivitas atau reformasi agraria, melainkan karena konflik kepengurusan dalam tubuh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang kian menampakkan wajah aslinya. Organisasi petani yang dikendalikan oleh elit politik, bukan oleh suara petani. 

Pada 19 Juni 2025, DPC HKTI Kota Tasikmalaya versi Padli Zon dilantik secara resmi. Hadir Wali Kota Viman Alfarizi, pejabat Dinas Pertanian, hingga anggota DPRD provinsi. Namun, tak satupun bicara menyentuh akar, dimana suara petani? Apa yang sebenarnya diperjuangkan dari dua versi organisasi ini selain klaim legitimasi dan afiliasi kekuasaan? 

Wali Kota memilih posisi aman, dengan menyebut bahwa konflik ini sebagai “urusan internal organisasi”. Pernyataan diplomatis, tetapi sekaligus mengecewakan. Ketika organisasi tani yang seharusnya menjadi mitra strategis pembangunan pertanian justru tercerai berai karena pertarungan elit. 

Seharusnya pemerintah tidak bersikap pasif, apalagi dalam konteks pertanian Kota Tasikmalaya yang penuh tantangan, ditengah ketersediaan lahan yang kian menyusut, subsidi minim, regenerasi petani melemah. 

Sekretaris DPD HKTI Jabar secara terbuka menyebut dualisme ini akibat "kekecewaan politik" saat Prabowo kembali terpilih. Artinya, konflik ini bukan soal petani, bukan soal tanah, bukan soal pupuk, tapi soal siapa yang duduk di kursi Ketua Umum. Sebuah pengakuan yang menampar idealisme organisasi petani. 

Ketua DPC HKTI Kota Tasikmalaya versi Padli Zon, Gilman Mawardi, memang mencoba menenangkan suasana dengan menyebut bahwa masing masing versi memperjuangkan hak petani. 

Namun, bukankah itu justru mempertegas persoalan dua AD/ART, dua garis komando, dua kebijakan di atas satu lahan sempit pertanian Tasikmalaya yang butuh kepastian dan kesatuan gerakan? 

"Kita tak bisa membiarkan organisasi petani menjadi cabang dari kepentingan partai politik nasional. Apakah petani hanya alat untuk mendulang suara dan legitimasi? Ataukah benar-benar ada program nyata dari masing-masing kubu untuk melawan tengkulak, memperjuangkan akses pupuk, memfasilitasi permodalan, atau menghadirkan teknologi murah?," tanya Irwan Supriadi Iwok, Masyarakat Kelompok Tani. 

Menurutnya, dualisme HKTI adalah potret telanjang bagaimana organisasi rakyat bisa direbut oleh mereka yang jauh dari sawah dan ladang. Jika tak hati hati, ini bisa jadi preseden buruk, politik pecah belah hingga ke akar rumput petani. 

Ia menegaskan bahwa masyarakat tani Kota Tasikmalaya harus cerdas bersikap. Tidak sekadar ikut seremoni pelantikan, tetapi mendesak transparansi program, menguji komitmen kerja, dan memastikan bahwa organisasi apapun, dengan nama apapun, hanya sah disebut organisasi tani bila memperjuangkan hak hak petani secara konkret dan kolektif. 

"Saat dua kubu sibuk dengan Munas dan struktur, petani tetap bergelut dengan pupuk langka, harga anjlok, dan alat produksi yang mahal. Siapa yang peduli pada realitas itu?," tandas Iwok, saat berbincang dengan wartawan, Jumat 20 Juni 2025.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow