Seru Dera Sudut Rahara, Menohok Batas Moral di Tasikmalaya

INILAHTASIK.COM | Di sebuah malam yang biasa di Tasikmalaya, tiba-tiba waktu membeku. Panggung menjadi ruang suci tempat jiwa-jiwa terbelah antara rasa bersalah dan pembebasan, antara tubuh yang menari di atas kenangan dan suara-suara masa lalu yang terus menggema.
Teater ALIBI menyalakan bara kesadaran melalui pementasan “Seru Dera Sudut Rahara”, sebuah pertunjukan yang tidak hanya mempertaruhkan nyali artistik, tapi juga menggugat ruang paling dalam dari kesantunan sosial yang selama ini kita pelihara.
Disutradarai oleh Irwan Guntari WK, dengan naskah karya Yasmin Mines dan supervisi dramaturgi oleh Dr. Ipit S. Dimyati, S.Sen., M.Si, pementasan ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan perayaan akan tubuh manusia sebagai medan pertempuran antara moralitas, kenangan, dan kehendak bebas.
Panggung dibuka dengan ledakan emosi: pertengkaran juragan dan selir yang tidak lagi disandera oleh nalar, tetapi digerakkan oleh amarah purba. Dari titik itu, dunia bergeser perlahan dan nyaris tak terasa menuju ruang yang lebih subtil, rumah bordir Kanti Ratih, tempat di mana luka-luka sejarah bercampur dengan aroma hasrat dan ketakutan.
Transisi antar adegan berlangsung begitu puitik. Penata artistik Riky Oet merajut ruang dengan simbol-simbol, lampu remang dari Zamzam Mubarok seperti mengusap kenangan, bukan sekadar menerangi wajah. Sementara gerak tubuh yang diolah oleh Anggraeni menjelma menjadi bahasa baru yang merobek batas antara estetika dan etika.
Namun bukan hanya keindahan visual yang ditawarkan. Bahasa dalam pementasan ini vulgar, telanjang, dan tanpa sensor. Sebuah pilihan artistik yang bukan untuk memuaskan syahwat, melainkan untuk menguak bahwa dalam setiap kata kasar terdapat peradaban yang digerus oleh kepura-puraan. Tidak heran jika pementasan ini dibatasi untuk usia 18 tahun ke atas.
Kisah Kanti Ratih, seorang pemilik rumah bordir yang menolak tunduk pada kekuasaan kapitalis Juanda Tjokrowijokso, adalah alegori getir tentang perempuan, tubuh, dan tanah yang terus-menerus digusur.
Ketika Kanti disergap suara-suara dari masa lalu dan bertemu Nyai Wening dalam mimpi, kita tidak sedang menyaksikan kisah hantu dalam makna konvensional. Ini adalah pertemuan batin dengan arketipe perempuan yang terluka, Nyai Wening bisa dimaknai sebagai anima, suara kolektif dari yang tersembunyi, dari luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Ia bukan sekadar tokoh, melainkan simbol dari sejarah yang bersemayam di alam bawah sadar.
“Seru Dera Sudut Rahara” membuktikan bahwa yang mistis bukanlah ilusi, melainkan cara lain menyusun kenyataan. Ketika logika gagal mengurai luka sosial, mistisisme, seperti yang tampak dalam bisikan gaib, mimpi, atau simbol tubuh, menjadi jalan memahami yang tak bisa dijelaskan. Ia mengajak penonton untuk tak sekadar menonton, tapi bertanya: siapa yang sebenarnya kita usir, setan, masa lalu, atau diri sendiri?
Di Tasikmalaya, malam itu, teater berubah menjadi ritual. Sebuah pemanggilan terhadap yang terlupakan, yang tak diakui, dan yang tak ingin dihadapi. Mungkin, di balik pertunjukan ini, yang sejatinya sedang menonton adalah mereka yang tak lagi punya tubuh dan kepada merekalah kita, diam-diam, berbicara.
Dengan deretan aktor seperti Navida Suryadilaga, Farrell, Futri Alvina, hingga Gin-Gin, pementasan ini tidak bermain aman. Mereka menaruh tubuh mereka sebagai narasi, membiarkan luka-luka personal dan sosial mengalir dalam setiap dialog, setiap gerak, setiap diam yang menyesakkan.
Pementasan di Tasikmalaya ini juga penanda: bahwa teater tidak sedang mati, ia hanya menunggu saat yang tepat untuk menyuarakan yang paling sunyi. Dan malam itu, di panggung “Seru Dera Sudut Rahara,” suara-suara itu akhirnya terdengar nyaring, mengguncang, dan tak bisa dilupakan.
What's Your Reaction?






