Menjadi Pelayan, Bukan Pencari Panggung, Seruan Moral bagi Calon Anggota Dewan Kesenian dan Kebudayaan

INILAHTASIK.COM | Dalam momentum pembentukan Badan Koordinasi Dewan Kesenian dan Kebudayaan (BKDK) tingkat nasional, sebuah pesan moral menggema dari Jakarta: Menjadi anggota dewan bukanlah tentang jabatan atau panggung kehormatan, tetapi tentang kesiapan untuk melayani secara total.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi, dalam pernyataannya Jumat (10/6/2025) malam, menekankan bahwa syarat utama menjadi bagian dari dewan kesenian dan kebudayaan adalah kematangan diri dan integritas untuk mengabdi.
“Orang yang masuk ke dalam Dewan Kesenian dan Kebudayaan harus orang yang sudah siap melayani masyarakat, khususnya dalam hal kesenian dan kebudayaan,” ujar Bambang dengan nada tenang namun tegas.
Tanggung Jawab Historis dan Moral
Bambang menyadari, di tengah perubahan zaman yang makin cepat dan kompleks, posisi di lembaga kesenian dan kebudayaan kerap kali digoda oleh dua hal: prestise sosial dan peluang proyek. Namun ia menegaskan, mereka yang belum selesai dengan dirinya sendiri tak seharusnya menempati ruang strategis ini.
“Lembaga kebudayaan bukan tempat aktualisasi diri, melainkan ruang pengabdian,” tuturnya. Bagi Bambang, kebudayaan adalah kerja sunyi yang tidak semestinya dibumbui semangat kompetisi atau kalkulasi keuntungan pribadi. “Siapa pun yang menjadikan posisi ini sebagai alat mobilisasi karya pribadi, sejatinya sedang menjauhkan diri dari makna dasar kebudayaan itu sendiri,” tambahnya.
Dari Teknik ke Strategi
Lebih dari sekadar pengelola acara atau fasilitator kegiatan seni, seorang anggota dewan dituntut memiliki kemampuan strategis. Dalam pandangan Bambang, institusi seperti Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan tidak boleh hanya menjadi pelaksana teknis. Tanpa visi, mereka berisiko menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, bukan mitra kritis dalam merumuskan arah kebudayaan bangsa.
“Kalau hanya jadi pelaksana, bisa-bisa ditinggalkan dan hanya menjadi subordinat dari kekuasaan,” katanya.
Dengan kata lain, kehadiran dewan kebudayaan seharusnya menjadi jangkar kebangsaan yang menstabilkan arah, bukan layar yang mudah terkoyak oleh angin kepentingan sesaat.
Jalan Sunyi dan Kenikmatan Menjadi Tak Terlihat
Apa yang disampaikan Bambang sejatinya mengajak publik untuk melihat ulang peran dewan dalam kerangka filsafat pelayanan. Menjadi bagian dari lembaga kebudayaan berarti memilih jalan sunyi—di mana pujian bukan tujuan dan pencapaian tidak dicatat atas nama pribadi.
“Dalam dunia kebudayaan, mereka yang tidak lagi mengejar pengakuan justru adalah yang paling layak dipercayai menenun masa depan,” katanya lirih, namun penuh keyakinan.
Ia mengajak seluruh pelaku budaya untuk kembali bertanya pada dirinya: Apakah kita hadir untuk mencatatkan nama, atau untuk merawat makna?
Mengakar dan Mengabdi
Dalam narasi kebudayaan nasional, lembaga seperti BKDK memegang peran sebagai penghubung antara warisan dan pembaruan. Namun keberhasilan itu hanya mungkin jika individu di dalamnya benar-benar memiliki daya tahan moral, bukan sekadar daya tarik personal. Di tengah gempuran budaya digital, konten instan, dan hasrat viral, mereka yang memilih diam, bekerja di belakang layar, dan setia pada nilai adalah aset terpenting.
Dan seperti dikatakan Bambang, seni dan kebudayaan bukan sekadar peristiwa, melainkan kesadaran yang hidup dalam tindakan. Di sanalah, panggilan untuk melayani bukan slogan, tetapi perwujudan etis dari manusia yang telah berdamai dengan dirinya sendiri.
What's Your Reaction?






