Bukan Baperjakat atau Sekda, Politik Silaturahmi Ibu Suri Jadi Kunci?

Irwan Supriadi Iwok
Juru Bicara Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi
INILAHTASIK.COM | Kota Tasikmalaya tak sedang kekurangan pegawai cerdas. Tapi rupanya, yang dibutuhkan menjelang rotasi mutasi bukan soal kecerdasan, melainkan ketepatan arah silaturahmi. Bukan kepada Baperjakat atau Sekda, tetapi rumah seorang perempuan yang memiliki dua kartu truf, KTP anggota DPRD dan akta kelahiran sebagai ibu.
Ia adalah wakil rakyat, sekaligus wakil genetis dari orang nomor satu di Kota Santri. Dalam situasi normal, perannya mungkin tak banyak disorot, tapi menjelang “musim panen jabatan”, tiba tiba rumahnya ramai, seolah menjadi lobi kekuasaan bertirai sajadah dan senyuman.
"Ibu terima siapa saja, karena dianggap ibunya Kota Tasikmalaya," katanya santai. Tapi publik tak bisa sesantai itu. Karena dalam sistem demokrasi, yang jadi ibu kota mestinya bukan figur biologis, tapi konstitusi.
Birokrasi yang Tergelincir ke Dapur Kekuasaan
Rotasi mutasi pejabat semestinya menjadi ruang untuk evaluasi dan akselerasi kinerja. Tapi ketika jalur formal dikebiri oleh manuver informal, yang lahir bukan meritokrasi, melainkan ‘mamakrasi’ sistem dimana syarat utama bukan kompetensi, tapi koneksi.
Bahkan jika semua ini dibungkus dengan istilah religius, do'a, ikhlas, jihad ASN, tetap saja aroma cawe cawe itu tercium pekat. Karena dalam politik, bahasa tubuh lebih jujur daripada teks suci.
Ketika para birokrat mulai "nyekar" ke rumah tokoh keluarga, dan berharap berkah jabatan turun dari langit langit rumah, maka itu bukan lagi silaturahmi. Itu adalah bentuk baru dari ziarah kekuasaan dengan harapan promosi, bukan pahala.
Demokrasi Lokal, Gaya Majelis Ta’lim Kekuasaan
Mari kita tidak naif. Tentu saja tak ada yang melanggar hukum. Tapi justru disitulah bahayanya. Karena kekuasaan paling licik bukan yang melanggar aturan, tapi yang mengendap di luar aturan. Ia tidak tertulis, tapi berfungsi. Tidak resmi, tapi menentukan. Dan ironisnya, semua berlangsung dengan senyum hangat, kerudung rapi, dan retorika ketakwaan.
Tasikmalaya hari ini seolah menampilkan versi unik dari demokrasi lokal, dimana agenda birokrasi tak dibahas di forum resmi, tapi diselipkan diantara seduhan teh dan senyum keibuan.
Bahkan “kesetiaan terhadap visi wali kota” kini menjadi standar penempatan jabatan. Padahal dalam UU ASN, syaratnya jelas, kualifikasi, kompetensi, dan kinerja. Tapi di Tasik, mungkin ada ayat tambahan, kesamaan DNA dengan wali kota.
Saatnya Kita Bersikap
Ini bukan persoalan pribadi, beliau punya hak menerima tamu, berbagi nasihat, atau menyajikan teh. Tapi kita semua juga punya hak untuk mengkritisi ketika ruang privat dipakai untuk memengaruhi urusan publik.
Dan kita juga berhak bertanya, apakah Wali Kota Viman Alfarizi Ramadhan sedang memimpin kota atau sekadar memperluas peran keluarga dalam tata kelola pemerintahan?
Jika benar ingin membangun pemerintahan yang bersih dan berwibawa, maka batas antara kasih sayang ibu dan kekuasaan publik harus digarisbawahi dengan tegas. Jangan sampai wali kota menjadi "anak sholeh" yang terlalu menurut pada ibunya, tapi justru abai pada konstitusi.
Dari Ruang Tamu ke Ruang Rapat
Kita semua cinta silaturahmi. Tapi bukan silaturahmi yang mempersingkat jalan menuju jabatan. Kita juga cinta kesalehan, tapi bukan kesalehan yang dipakai sebagai kemasan dari praktik patronase.
Kalau semua urusan birokrasi bisa diselesaikan dengan do'a dan sepotong nasihat informal di ruang tamu, maka mungkin saja suatu hari nanti Baperjakat bisa dibubarkan, dan diganti dengan Majelis Ibu Kota Tasikmalaya.
Tapi sebelum itu terjadi, mari kita ingatkan, demokrasi tidak diwariskan lewat darah, apalagi keluarga, tapi demokrasi diperjuangkan lewat akal sehat dan keberanian bersuara.
What's Your Reaction?






