Transisi Energi di Indonesia, Tinjauan Kritis terhadap Keberlanjutan dan Tantangan Ekosistem Energi Baru Terbarukan

Mar 12, 2024 - 21:13
Mar 12, 2024 - 21:59
Transisi Energi di Indonesia, Tinjauan Kritis terhadap Keberlanjutan dan Tantangan Ekosistem Energi Baru Terbarukan

INILAHTASIK.COM | Artikel ini merupakan sebuah tinjauan singkat terhadap transisi energi di Indonesia. Penulis berupaya untuk merefleksikan terkait transisi Energi Baru Terbarukan (EBT) terkhusus mengenai bauran energi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Penulis memandang bahwa pemerintah belum fokus pada penciptaan ekosistem EBT. Maka, refleksi ini menjadi catatan dari penulis untuk transisi energi yang berorientasi pada kelestarian lingkungan.

Bauran energi dalam artikel ini merujuk pada kondisi di mana energi fosil (seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara) dan energi terbarukan (seperti energi surya, angin, dan hidro) dikombinasikan untuk meningkatkan pasokan energi dan mengurangi ketergantungan pada sumber energi tertentu. Target kebutuhan energi nasional yang melibatkan Energi Baru Terbarukan dalam RPJMN 2020-2024 berada pada 23 persen dari bauran energi nasional. Begitupun dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang ditetapkan pada tahun 2014, menargetkan EBT pada tahun 2025 mencapai 23 persen dan 31 persen pada tahun 2050.

Namun, Dewan Energi Nasional (DEN) melakukan adjustment terhadap target tersebut menjadi 17-19 persen. Penyesuaian tersebut dilakukan karena asumsi makro ekonomi yang tidak sesuai dengan prediksi awal pemerintah.

Figur 1. Perkembangan Realisasi Energi Bauran di Indonesia (KemenESDM, 2024 dalam Paramita & Pranchiska, 2024)

Capaian energi terbarukan pada akhir tahun 2023 hanya mencapai 13,1 persen dari target yang telah diturunkan yaitu 17-19 persen untuk tahun 2025. Bila melihat target awal dalam RPJMN dan KEN berada pada 23 persen pada tahun 2025 menjadi tidak mungkin untuk dicapai. Track record kenaikan dari 2021 ke 2022 hanya naik 0,1 persen dan 2022 ke 2023 naik 0,8 persen (Figur 1). Setidaknya pemerintah harus berusaha untuk menaikkan 3,9 persen untuk mencapai 17 persen target minimum tahun 2025, artinya dalam dua tahun pemerintah harus menaikkan 1,95 persen sumber Energi Baru Terbarukan.

Asian Development Bank (ADB) dalam studi terhadap target energi bauran di Indonesia menunjukkan potensi akan gagalnya Indonesia mencapai target EBT. Tiga hal yang menjadi landasan ADB bahwa biaya proyek EBT lebih tinggi dari standar harga tertinggi pembelian listrik, integrasi EBT yang tidak memadai, dan biaya serta risiko yang tinggi dalam pembuatan EBT di Indonesia. Kendala tersebut menjadi masalah yang serius, terutama bila ditinjau dari konsep energi trilema.

Trilema energi menjadi konsep yang menggambarkan tiga aspek utama yang harus diseimbangkan dalam kebijakan energi terbarukan diantaranya ketersediaan energi, aksessibilitas energi, dan keberlanjutkan lingkungan. Energi listrik dengan sumber EBT menjadi energi yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan, namun Indonesia masih terkendala dalam ketersediaan energi EBT.

Bila ketersediaan energi EBT lebih rendah dari fosil, tentu saja masyarakat masih mengandalkan energi fosil, karena asessibilitas yang mudah ditemukan dengan harga yang rendah. Supply energi ramah lingkungan yang sedikit menjadikan masyarakat tidak menjadikan energi bersih sebagai pilihan utama. Selain itu, biaya pembangkitan listrik dari batu bara lebih murah (Rp.650/kwh) sedangkan biaya pembangkitan listrik tenaga panas bumi (Rp.1024/kwh). Selama energi fosil dijual murah, peralihan menuju EBT akan lebih lama.

Subsidi dan anggaran masih fokus terhadap energi fosil. Pemerintah pada 18 September 2023 menegaskan bahwa tidak mengambil kebijakan untuk mengalihkan subsidi dari fosil ke EBT, namun pemerintah berkomitmen untuk mempercepat pengembangan EBT. Padahal pengalihan subsidi menjadi bentuk komitmen dalam percepatan pengembangan EBT, pengalihan subsidi juga akan menarik perhatian investor EBT. Ini menunjukkan bahwa EBT masih menjadi pilihan kedua dalam sumber energi di Indonesia.

Permasalahan lain yaitu Indonesia tidak memiliki ekosistem pasar Energi Baru Terbarukan. Sedikitnya aktor di pasar energi terbarukan bukan tanpa alasan, Climate Policy Initiative (2018) mengemukakan terdapat peluang bagi instrumen keuangan publik untuk mengatasi hambatan pembiayaan yang berujung pada terhambatnya pertumbuhan investasi swasta di bidang energi ramah lingkungan, diantaranya suku bunga yang tinggi, terbatasnya pendanaan utang jangka panjang, kerangka kebijakan yang tidak efisien, serta kurangnya pengalaman sektor keuangan daerah di sektor energi ramah lingkungan. Sedikitnya pelaku investasi dalam EBT tidak menciptakan ekosistem kompetisi yang baik.

Hadirnya Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik memberikan angin segar bagi kebijakan energi terbarukan di Indonesia. Namun, terdapat aturan yang berkaitan dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara yang masih tercantum dalam aturan tersebut. Seharusnya kebijakan fokus pada pengembangan dan percepatan transisi menuju energi terbarukan, namun pemerintah masih memberikan ruang bagi pembangunan PLTU baru dengan pembatasan tertentu. Ini menunjukkan bahwa dependensi Indonesia terhadap energi fosil masih mengakar.

Bauran energi dalam RPJMN menjadi strategi yang baik, namun bila energi fosil tidak diturunkan secara drastis, melainkan menaikan energi terbarukan dan setara dengan fosil, hasilnya tetap merusak lingkungan. Penulis memandang bahwa terciptanya kondisi ideal dalam sumber energi yang berorientasi terhadap kelestarian lingkungan yaitu ketika energi fosil tidak menjadi prioritas. Pemerintah telah berupaya untuk menurunkan persentase energi fosil (Batubara) dari 42,38 persen menjadi 40,46 persen. Walaupun ada penurunan, energi yang dihasilkan dari Batubara masih merusak lingkungan.

Refleksi penulis dalam artikel ini menggarisbawahi bahwa pemerintah harus memberikan prioritas terhadap Energi Baru Terbarukan, terkhusus dalam segi kebijakan dan pembentukan ekosistem pasar EBT. Penulis menyinggung mengenai pasar EBT yang belum terbentuk di Indonesia. Investor akan melihat prioritas dari pemerintah, bilamana pemerintah belum memprioritaskan EBT, maka investor teknologi EBT tidak memprioritaskan Indonesia sebagai target investasi.

Penulis memandang bahwa selama peralihan subsidi, menciptakan pasar EBT, menurunkan pengelolaan sumber energi fosil dengan maksimal tidak menjadi fokus pemerintah, EBT bukan menjadi prioritas pemerintah. Ketika prioritas tidak mengarah pada EBT, maka transisi energi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan akan mengalami hambatan, menyebabkan proses tersebut memakan waktu yang lebih lama dari yang seharusnya.

Penulis : Tian Nugraha (Peneliti di Kamufisa Foundation)

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow