Sentralisasi Dewan Kebudayaan, Antara Sinkronisasi dan Ancaman terhadap Keberagaman

Jun 23, 2025 - 19:30
Jun 23, 2025 - 19:30
Sentralisasi Dewan Kebudayaan, Antara Sinkronisasi dan Ancaman terhadap Keberagaman

INILAHTASIK.COM | Gagasan pembentukan Dewan Kebudayaan Nasional yang terintegrasi dan terpusat kian menguat di tengah upaya menata ekosistem kebudayaan nasional yang fragmentaris. Namun, ide ini menuai perdebatan. Apakah sentralisasi menjadi solusi, atau justru berpotensi menggerus dinamika lokal yang menjadi kekuatan utama budaya Indonesia?

Dalam wawancara  Bambang Pribadi, Ketua harian  Dewan Kesenian Jakarta, menegaskan pentingnya memperkuat regulasi dan menghindari jebakan seremoni dalam tata kelola kebudayaan.

 “Yang kita butuhkan bukan sekadar kelembagaan, tapi keberanian politik budaya,” ujarnya.

Menurut Bambang, secara struktural pembentukan dewan kebudayaan yang terpusat memang dimungkinkan, apalagi setelah hadirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Namun, ia menekankan bahwa yang lebih mendesak adalah membangun mekanisme sinkronisasi, bukan sentralisasi.

Kebudayaan itu hidup dan kontekstual. Sentralisasi bisa mematikan keragaman lokal jika tak dikelola dengan bijak. Kita butuh sistem koordinasi, bukan dominasi,” jelasnya.

Dalam praktiknya, sinkronisasi dapat menjadi jembatan antara pusat dan daerah. Dewan Kebudayaan Nasional, jika terbentuk, sebaiknya menjalankan fungsi koordinatif: menyusun kebijakan makro, memperkuat pendataan, melindungi ekspresi budaya, dan menjadi simpul jejaring antarwilayah, bukan instrumen kontrol.

Peran Strategis, Bukan Pelaksana Kegiatan

Salah satu persoalan krusial yang kerap muncul adalah peran Dewan Kebudayaan atau Dewan Kesenian di tingkat daerah yang justru menjadi perpanjangan tangan dari dinas terkait (Disbudpar), bahkan sering dijadikan pelaksana kegiatan.

 “Itu keliru secara prinsip. Dewan harus menjadi perumus, bukan pelaksana. Mereka bertugas menyusun kebijakan, merancang program pembinaan dan pengembangan, serta memantau capaian kegiatan yang dilaksanakan pemerintah, komunitas, atau pihak ketiga,” tegas Bambang.

Hal ini sejalan dengan semangat Peraturan Presiden tentang Strategi Kebudayaan, serta Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) yang mesti diterjemahkan dalam peta jalan budaya selama lima tahun ke depan. Pada saat bersamaan, regulasi berupa perda pemajuan kebudayaan perlu disusun sebagai kerangka kerja jangka panjang yang menjamin keberlangsungan dan legitimasi kelembagaan budaya.

Bambang menyoroti pentingnya membedakan secara tegas mandat antara Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan. Jika merujuk pada UU Pemajuan Kebudayaan, maka 10 objek pemajuan kebudayaan (OPK) menjadi dasar kerja: sembilan di antaranya menjadi domain Dewan Kebudayaan, sementara satu OPK, yakni seni, menjadi wilayah Dewan Kesenian.

Namun seni di sini tidak semata soal artistik, melainkan penguatan ekosistem seni yang melibatkan komunitas, lembaga pendidikan, pelaku budaya lintas sektor, hingga pihak swasta.

“Tugas kita bukan mengejar pertunjukan spektakuler, tapi membangun ekosistem yang sehat. Itu artinya ada jaminan hidup seniman, pendidikan seni yang berkualitas, dan anggaran yang berpihak,” ujar Bambang.

Kebudayaan Butuh Keberanian Politik

Menurut Bambang, tantangan utama kebudayaan Indonesia saat ini adalah lemahnya keberanian politik untuk benar-benar menjadikan budaya sebagai fondasi pembangunan.

Banyak Dewan Kebudayaan hidup segan mati tak mau. Sebagian hanya jadi penonton karnaval. Ini bukan salah personal, tapi lemahnya regulasi dan kemauan politik,” katanya.

Diperlukan perubahan paradigma dari budaya sebagai ornamen, menjadi budaya sebagai arus utama pembangunan. Dewan Kebudayaan, baik di pusat maupun daerah, harus menjadi tim ahli, bukan elit tertutup. Mereka mesti terbuka berdialog, merujuk pada kajian, dan menjalin jejaring lintas bidang.

Pembentukan Dewan Kebudayaan terpusat, jika tidak disertai prinsip keberagaman, justru berpotensi menjadi alat pelumpuh imajinasi kultural bangsa. Oleh karena itu, struktur dan fungsinya harus disusun secara hati-hati dan partisipatif.

Kalau kebudayaan terus-menerus dipinggirkan, kita sedang menyiapkan bangsa yang kehilangan daya bayangnya sendiri. Dan itu mengerikan,” pungkas Bambang.

Catatan: 
Upaya menyusun peta jalan kebudayaan dan memperkuat regulasi daerah mesti melibatkan aktor-aktor kultural dari hulu ke hilir. Kebudayaan bukan hanya urusan pagelaran, tetapi menyangkut arah dan identitas masa depan bangsa.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

AB Asmarandana ​AB Asmarandana, nama pena dari Budi Darma, M.Sn., adalah seorang seniman teater, penulis, dan dosen asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini Ia aktif sebagai dosen Prodi Sendratasik UMTAS dan mengembangkan seni pertunjukan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kutai Kartanegara dan Tasikmalaya.​