Tidak Ada Kerugian Negara, Kalimat Aman yang Menyesatkan

Oleh: Irwan Supriadi
Juru Bicara PEMANTIK (Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi)
INILAHTASIK.COM | Pernyataan Kepala UPTD Parkir, Dinas Perhubungan Kota Tasikmalaya, Uen Haeruman, yang menyebut bahwa tidak ada kerugian negara dalam pengelolaan retribusi parkir berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Tahun 2023.
Narasi tersebut terdengar seperti kalimat klise yang sering diucapkan pejabat ketika ingin menghindar dari tanggung jawab substansial. Kalimat itu memang aman dari sisi hukum, tapi terlalu sering digunakan untuk menyembunyikan masalah yang jauh lebih dalam akan bobroknya sistem.
Dalam laporan BPK yang sama, justru disebutkan bahwa target retribusi daerah tidak tercapai. Ini bukan hal remeh. Gagal mencapai target retribusi berarti ada potensi pendapatan daerah yang tidak tergali.
Ini jelas bentuk kerugian, meskipun tidak tercatat sebagai uang negara yang hilang. Saya menyebutnya sebagai kerugian yang dilegalkan. Negara dirugikan, tapi tidak bisa menuntut siapa pun karena uangnya belum sempat dihitung.
Apalagi berbicara tentang cuan yang diperoleh Pemerintah dari sektor parkir. Wilayah basah yang kerap berada di antara pungutan resmi dan pungutan liar. Ketika target tidak tercapai, masyarakat berhak curiga, kemana larinya potensi pendapatan tersebut?
Gagal menyerap retribusi bukan sekadar masalah angka. Ini adalah gejala dari penyakit tata kelola:
• Sistem yang tidak berjalan,
• Pengawasan yang lemah,
• dan praktik-praktik tidak transparan di lapangan.
Lucunya, kita malah disuguhi pernyataan “tidak ada kerugian negara” seolah-olah itu prestasi. Padahal itu sama saja dengan berkata, “Uangnya tidak hilang, hanya tidak pernah dikumpulkan” dan itu dianggap wajar?
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, PEMANTIK mengingatkan bahwa fungsi pejabat bukan hanya menjaga agar uang negara tidak dicuri, tetapi memastikan seluruh potensi pendapatan dikelola dengan baik, adil, dan transparan.
Hari ini, korupsi tidak selalu datang dalam bentuk amplop atau mark-up proyek. Ia bisa menyusup dalam bentuk pembiaran, penyangkalan, dan pembelaan terhadap sistem yang stagnan.
Maka, jika pejabat hanya berlindung di balik frasa legalistik, publik berhak bertanya, apakah Anda benar-benar sedang melayani, atau sekadar mengamankan posisi?
Sudah waktunya narasi aman diganti dengan sikap berani. Berani mengakui ada yang salah, dan bersedia membenahi.
What's Your Reaction?






