Kartini, Kodrat, dan Feminisme, Menenun Emansipasi di Tanah Ibu

INILAHTASIK.COM | Setiap 21 April, Indonesia memperingati Hari Kartini, mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini yang menulis gagasan tentang emansipasi perempuan melalui surat-suratnya. Namun, di era modern ini, makna emansipasi bagi perempuan Indonesia masih terus diperdebatkan di antara arus kodrat dan feminisme.
Di berbagai daerah, perempuan Indonesia kini hadir dalam berbagai peran. Tidak hanya sebagai ibu rumah tangga, mereka juga menjadi kepala desa, dosen, sopir ojek, pemimpin startup, hingga pemuka agama. Bahkan, perempuan yang memilih untuk fokus di rumah tetap memiliki ruang perjuangannya sendiri.
“Perempuan Indonesia hidup di persimpangan antara tradisi dan transformasi. Mereka tidak memilih salah satunya, tapi justru berusaha merangkul keduanya,” ujar Asti Tri Lestari, M.Pd., kandidat doktor dan dosen Program Studi Sendratasik Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS), Senin 21 April 2025.
Menurutnya, feminisme di Indonesia tidak harus meniru konsep Barat. Ia menegaskan bahwa gerakan perempuan Indonesia sebaiknya berakar pada konteks lokal, seperti yang dulu diperjuangkan Kartini, Dewi Sartika, hingga para perempuan di kampung-kampung hari ini.
Dalam surat-suratnya, Kartini menolak keterbatasan akses pendidikan dan kebebasan berpikir bagi perempuan, tanpa harus menafikan kodrat sebagai seorang ibu atau istri. Kartini pernah menulis, “Aku ingin menjadi manusia seutuhnya.” Sebuah seruan agar perempuan dihargai bukan hanya karena status perannya di rumah tangga, tetapi juga sebagai individu yang berpikir, merasa, dan berkarya.
Saat ini, akses perempuan Indonesia terhadap pendidikan, teknologi, dan ruang publik semakin terbuka. Banyak perempuan telah menorehkan prestasi di berbagai bidang, mulai dari bisnis, pemerintahan, seni, hingga aktivisme sosial. Di media sosial, mereka aktif menyuarakan hak, berbagi ilmu, hingga meruntuhkan stigma.
Namun, tantangan masih ada. Di beberapa wilayah, perempuan masih menghadapi isu pernikahan anak, keterbatasan layanan kesehatan, hingga tekanan budaya yang menilai perempuan dari status menikah, kecantikan, atau kepatuhan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa perjuangan perempuan Indonesia masih berjalan. Mereka terus menegosiasikan ruangnya, baik di dapur, rapat, jalanan, panggung, maupun dunia digital. “Perempuan Indonesia tidak ingin menggantikan posisi laki-laki, tapi ingin duduk sejajar. Tidak ingin meninggalkan kodrat, tapi ingin punya pilihan,” tambah Asti.
Pada peringatan Hari Kartini ini, bangsa diingatkan bahwa perjuangan belum usai. Kodrat bukanlah penghalang, dan feminisme bukan ancaman. Keduanya bisa menjadi akar dan sulur yang menopang kemerdekaan perempuan Indonesia dengan caranya sendiri.
What's Your Reaction?






