Pileg Tahun 2024, Antara Harapan dan Kekhawatiran dalam Menjaga Makna Demokrasi

Feb 21, 2023 - 20:32
Pileg Tahun 2024, Antara Harapan dan Kekhawatiran dalam Menjaga Makna Demokrasi

OPINI, INILAHTASIK.COM | Menjelang perhelatan PILEG tahun 2024, dan bercermin di perhelatan demokrasi yang lalu-lalu hampir 80 persen menyisakan persoalan.

Membuktikan bahwa makna demokrasi, ternyata belum begitu mengakar dan atau berdampak pada masyarakat.

Terlebih para bakal calon wakil wakil rakyat nyaris yang membunuh makna demokrasi itu sendiri (padahal mereka yang harus menjunjung tinggi nilai demokrasi ini).

Nyata-nyatannya terlihat jelas, misalnya belum lagi ditentukan jadwal kampanye para calon wakil wakil rakyat ini, sudah curi adegan dengan dalih santunan-lah, jalan santai-lah, pengajian-lah, sumbangan dan masih banyak lagi.

Padahal sebelumnnya tidak pernah sama sekali. Yang paling menggelikan lebih menjurus pada kekonyolan kemunculan baligo baligo di jalan, mereka pikir itu suatu publikasi pencitraan yang efektif. Tidak sama sekali! (Sebaliknya fenomena baligo sejenis pandalisme politik akhirnya jadi sampah visual saja) slogan slogan yang memukau dan heroik  pada hakekatnya justru  melecehkan dirinya sendiri kenapa demikian? Lebih pantas disebut sebagai pahlawan kesiangan.

Keberadaan baligo justru mengganggu keindahan kota (tanpa penataan). proses publikasi dan pencitraan bukanlah main judi rolet (untung-untungan).

Dibutuhkan intensitas dan pengorbanan, sebuah citra dan pencitraan demokrasi harus berbanding lurus dengan proses yang kontinyu.

Pileg (pemilihan wakil rakyat) bukan tempat orang untuk bermain judi rolet!

Kita tak tahu akan diletakkan dimana wajah demokrasi kita, bila dihadapkan pada situasi ini. Apalagi sekarang kita tidak lagi berpijak pada nilai demokrasi sesungguhnya.

Situasi yang kita alami, memang menggelisahkan dan meresahkan. Rasanya, siapapun tak akan tenang hatinya menyaksikan sekelompok orang atau partai-partai yang mengatasnamakan demokrasi mencoba mencari keuntungan.

Seandainya demokrasi itu “Manusia”  yakin dengan seyakin-yakinya akan menjerit kesakitan tapi jeritannya tanpa suara (voice of the voiceless), terasa menyayat sanubari, membuat kita bergegas ingin nyapih .

Namun, apakah mereka (sekelompok orang atau partai-partai tadi) melakukan seperti yang kita pikirkan? Pengalaman menunjukkan, justru merekalah yang menistakan bahkan mematikan nilai budaya itu (red). Persoalannya, mari kita“mencaritahu ”siapakah yang berdosa? 

Masyarakat Indonesia sebentar lagi menuju gerbang perhelatan demokrasi. Untuk memiliki kekuatan magnetik pesta demokrasi ini, idealnya harus menempuh proses pengkajian, berusaha menelaah atau bercermin pada pesta demokrasi sebelumya, guna menuju pada puncak cita-cita “ the moment of truth” pemimpin pemimpin yang kredibel.

Dan untuk para calon wakil-wakil rakyat (anggota dewan), haruslah memahami budaya dan bahasa seni, karena pada dasarnya seni atau estetika adalah sebuah peristiwa proses belajar yang dibangun atas dasar penyatuan kehendak, yaitu keinginan pada kesempurnaan lewat kenyataan dalam proses bermasyarakat.

Hakekatnya cita rasa seni merupakan cerminan prilaku masyarakatnya. Intinya mengungkap kehendak-kehendak, kepada ke-khusuan untuk membangun calon wakil-wakil rakyat yang beretika pastinya bermartabat.

Dan budaya serta bahasa seni inilah sebagai alat penyadaran makna peristiwa atau kejadian di masyarakat. Bukankah sebuah karya seni mewakili jamannya? Ini terjadi untuk menjelaskan hakekat peristiwa secara makrokosmos, yang disodorkan dengan bahasa seni secara holistik. Guna membangun “ the moment of truth” tadi.

Cag!

Penulis,

Tatang pahat

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow