FISIP Unsil Gelar Seminar Nasional dan Call for Paper

Seminar Nasional dan Call for Paper dengan tema “Kebangsaan dan Transformasi Sosial Politik di Indonesia”

Oct 20, 2022 - 11:06
Oct 20, 2022 - 11:59
FISIP Unsil Gelar Seminar Nasional dan Call for Paper

KOTA TASIK, INILAHTASIK.COM | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi mengadakan Seminar Nasional dan Call for Paper dengan tema “Kebangsaan dan Transformasi Sosial Politik di Indonesia”, bertempat di Ruang Seminar Rektorat Universitas Siliwangi, Kamis 20 Oktober 2022.

Beberapa Pemateri dalam kegiatan tersebut diantaranya, Engkus Sutisna S.T, M.T (Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintah, Hukum dan Politik), Dr. Iding Rosyidin S.Ag, M.Si sebagai Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia (APSIPOL), Joash Elisha Stephen Tapiheru, S.IP, M.A, Ph.D Dosen Politik dan Pemerintah Universitas Gadjah Mada.

Peserta seminar berasal dari berbagai kelompok di Indonesia, seperti mahasiswa, birokrat, dan masyarakat umum.

Pelaksanaan Call for Paper membahas delapan sub-tema yakni nasionalisme dan identitas digital, demokrasi, HAM dan kesejahteraan sosial, politik lokal, pembangunan berkelanjutan, pemilihan umum dan partai politik, Islam dan Kepesantrenan, reformasi birokrasi, dan geopolitik.

Kegiatan ini juga merupakan upaya menegaskan Visi dan Misi Universitas Siliwangi yang beroriantasi kebangsaan.

Seminar Nasional dengan tema “Kebangsaan dan Transformasi Sosial Politik di Indonesia” menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, privat dan akademisi dalam upaya meningkatkan semangat kebangsaan dan merespon kondisi sosial politik saat ini. 

Konsep lain yang harus dipahami tentang semangat berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan di aras lokal. Pembangunan berkelanjutan pada pemerintah daerah juga harus ditingkatkan dengan semangat kesadaran penggunaan sosial media.

Dekan FISIP Unsil, Nina Herlina, Dra, M.T mengungkapkan, kebangsaan bukan hanya persoalan salah satu program studi atau fakultas di Universitas Siliwangi, akan tetapi menjadi tanggung jawab seluruh komponen yang ada di Universitas Siliwangi. ungkapnya singkat.

Rektor Universitas Siliwangi, Dr Nundang Busaeri MT mengatakan, dalam hal keebangsaan tidak boleh meninggalkan nilai-nilai religiusitas karena merupakan nilai dasar yang sangat penting bagi kemajuan dan eksistensi negara Indonesia.

"Kami berharap pembangunan berbasis teknologi dapat memberikan kesejahteraan pada seluruh masyarakat," ungkapnya.

Staf Ahli Gubernur Bidang Pemerintah, Hukum dan Politik, Engkus Sutisna, S.T, M.T menuturkan, Indonesia maju tahun 2045 perlu memenuhi tiga syarat yakni demokrasi damai dan kondusif, ekonomi, serta millenial yang kompetitif. 

"Ketiga syarat tersebut wajib dipenuhi bila Indonesia ingin menjadi negara yang maju. Selain itu, perlu juga untuk menghindari rute menuju bubarnya suatu peradaban yakni perang yang tidak bisa diselesaikan, kerusuhan-kerusuhan yang tidak bisa dikendalikan, banyak hasutan-hasutan, perbedaan-perbedaan yang dibesar-besarkan, serta benih-benih kebencian," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia, Dr. Iding Rosyidin, S.Ag, M.Si menuturkan, transformasi sosial politik memiliki plus minus baik dari segi desain kenegaraan, hubungan pusat dan daerah, liberalisasi politik, serta pelembagaan politik. 

"Solusi yang dapat dijadikan dalam menghadapi permasalahan transformasi sosial-politik, yakni dengan mengembangkan wawasan kebangsaan yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Ajaran Agama, Norma Masyarakat, dan Undang-Undang ITE," terangnya.

Hal tersebut, kata dia, menandakan adanya urgensi literasi politik yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor.

Dosen Politik dan Pemerintah Universitas Gadjah Mada, Joash Elisha Stephen Tapiheru S.IP, M.A, Ph.D mengatakan pembahasan tentang “rasa kebangsaan” ini patut kita perhatikan secara lebih cermat dan kritis. 

"Ada sejumlah poin yang patut kita perhatikan dari artikulasi dan konteks di mana artikulasi “rasa kebangsaan” ini terjadi," ujarnya.

Pertama, sebagian besar artikulasi “rasa kebangsaan” atau “membangun dengan hati” atau istilah lain yang kurang lebih setara, merujuk pada pentingnya kesamaan rasa diantara sekelompok masyarakat dengan beragam karakteristik dan latar belakang, dilakukan dalam konteks untuk ‘menandai’ sesuatu yang dibutuhkan tetapi tidak ada, kurang, atau terancam memudar. 

Kedua, dalam konteks yang sama, aspek rasa ini cenderung dipahami sebagai sesuatu yang semata-mata bersifat kognitif, formalistik, dan esensialis. 

"Yang terakhir ini membuat artikulasi rasa kebangsaan yang dominan tidak sensitif terhadap aspek afektif yang sebetulnya lebih dominan membentuk “rasa” tersebut," pungkasnya.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow