Retribusi Bocor, Pengawasan Mandul: Kegagalan Ganda dalam Tata Kelola Parkir di Kota Tasik

Oleh: Irwan Supriadi Iwok – Koordinator PEMANTIK
INILAHTASIK.COM | Dalam sistem keuangan daerah, retribusi parkir mestinya menjadi sumber andalan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sekaligus indikator kedisiplinan fiskal dan kontrol operasional dinas teknis. Namun laporan BPK atas LKPD Kota Tasikmalaya tahun 2023 menunjukkan fakta yang sebaliknya.
Potensi kebocoran retribusi parkir mencapai Rp 481.552.000. Kebocoran ini bukan hanya angka. Ini adalah alarm keras atas lemahnya sistem, etika, dan pengawasan.
BPK menyebutkan dana parkir dipakai langsung oleh petugas, tidak disetor sesuai prosedur, dan sebagian tidak tercatat. Ini jelas pelanggaran administratif sekaligus indikasi pelanggaran hukum pidana.
Namun ironi ini menjadi lebih menyakitkan ketika publik mengetahui bahwa Pemerintah Kota Tasikmalaya melalui Dinas Perhubungan justru menganggarkan Rp 345 juta untuk program “Koordinasi dan Sinkronisasi Pengawasan Izin Parkir”, dengan hasil berupa 12 laporan.
Secara nominal, setiap laporan rata-rata bernilai Rp 28 juta, namun tak satu pun mampu mencegah kebocoran hampir setengah miliar rupiah yang terjadi di saat bersamaan.
Apa yang Salah?
Secara hukum, ini bukan hanya soal lemahnya kontrol. Ini menyangkut potensi pelanggaran terhadap, Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang mewajibkan setiap anggaran berbasis kinerja dan hasil, bukan hanya formalitas laporan.
Kemudian, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang melarang penggunaan langsung dana publik di luar mekanisme resmi. UU Tipikor (31/1999 jo. 20/2001), khususnya Pasal 2 dan 3, jika dana digunakan tanpa hak dan merugikan keuangan daerah. Serta UU Nomor 15 Tahun 2004, berkenaan dengan tindaklanjut rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti dalam waktu 60 hari.
Jika laporan pengawasan dibuat, tapi tidak berdampak, tidak mencegah kebocoran, dan tidak menimbulkan perbaikan, maka itu bukan sekadar pemborosan. Itu adalah disfungsi sistem pengawasan.
Parkir Cermin dari Sistem yang Lebih Besar. Kasus ini menunjukkan bagaimana dua simpul anggaran bekerja berlawanan arah. Anggaran pengawasan terserap habis, dengan laporan yang tidak efektif. Retribusi parkir justru bocor di lapangan, karena tak ada deteksi atau intervensi yang nyata.
Apakah kita masih bisa menyebut ini “koordinasi”? Atau sesungguhnya ini hanyalah pelapisan anggaran rutin dengan narasi pengawasan agar bisa dicairkan tanpa menimbulkan kecurigaan?
Seruan PEMANTIK
Kami menyerukan agar:
• Inspektorat melakukan audit investigatif tematik atas program pengawasan dan pengelolaan parkir.
• DPRD Kota Tasikmalaya memanggil terbuka pihak-pihak terkait, termasuk Kepala Dishub dan UPTD Parkir.
• APH menindaklanjuti unsur pidana, jika ditemukan kerugian riil negara/daerah dan pelanggaran hukum formil.
Karena dalam perspektif hukum publik, diamnya sistem atas kebocoran yang dibiarkan adalah bentuk pembiaran struktural.
Kebocoran parkir mungkin terlihat kecil, tetapi ia adalah gambaran paling konkret dari kelalaian birokrasi dan kebocoran mentalitas pengelolaan keuangan publik. Bila kegiatan pengawasan tidak benar-benar mengawasi, dan laporan tidak mencerminkan kerja nyata, maka yang terjadi adalah legalisasi pemborosan secara sistematis.
Dan jika yang kecil saja bocor, bagaimana kita bisa percaya pada yang besar?
PEMANTIK Memutus Mata Rantai Korupsi, Dari Tepi Jalan Sampai Ruang Anggaran.
What's Your Reaction?






