Mojang Jajaka Kota Tasikmalaya 2025, Duta Budaya yang Masih Perlu Mendalami Makna

INILAHTSIK.COM | Ajang pemilihan Mojang Jajaka (Moka) Kota Tasikmalaya 2025 kembali digelar untuk mencari duta budaya dan pariwisata yang akan mewakili identitas lokal di tingkat kota tasikmalaya.
Namun, meski para finalis tampil memukau secara visual, sebagian besar masih dinilai kurang memahami substansi budaya yang mereka wakili.
Mojang Jajaka adalah sebutan bagi pasangan finalis pria dan wanita dalam ajang tahunan yang diselenggarakan oleh paguyuban mojang jajaka Tasikmalaya.
Mojang (perempuan) dan Jajaka (laki-laki) dipilih untuk menjadi wajah promosi budaya dan pariwisata Kota Tasikmalaya.
Peserta berasal dari pemuda-pemudi berusia 17–23 tahun, berstatus belum menikah, dan berdomisili di Tasikmalaya.
Mereka harus memenuhi kriteria pengetahuan budaya, komunikasi yang baik, serta penampilan menarik. Seleksi berlangsung ketat dan melibatkan juri dari berbagai latar belakang budaya, pendidikan, dan kepariwisataan.
Rangkaian seleksi dan kegiatan berlangsung sepanjang juli sampai swptembr 2025 di Kota Tasikmalaya, dengan puncak pemilihan finalis digelar pada pertengahan tahun. Para finalis akan menjalani masa karantina, pembekalan budaya, serta berbagai kegiatan sosial.
Tujuan utama dari ajang ini adalah untuk melahirkan duta-duta muda yang mampu mempromosikan kekayaan budaya Sunda, khususnya warisan budaya Tasikmalaya, sekaligus menjadi role model generasi muda dalam pelestarian adat, bahasa, dan nilai-nilai lokal.
Catatan panitia menunjukkan mayoritas peserta hanya mengetahui budaya secara permukaan. Mereka mengenal batik Sukapura, kebaya Sunda, hingga kuliner khas, tetapi tidak memahami makna filosofis atau sejarah di baliknya.
Beberapa peserta kesulitan menjawab pertanyaan seputar konteks sosial budaya Tasikmalaya, seperti makna gotong royong atau persoalan komersialisasi budaya. Budaya dianggap sebatas estetika, bukan sistem nilai yang hidup.
Pemahaman budaya yang mendalam menjadi penting, terutama ketika para finalis kelak mewakili Tasikmalaya di tingkat provinsi bahkan nasional. Pengetahuan harus berbasis riset dan pengalaman, bukan sekadar hafalan dari lomba sebelumnya.
Pembekalan budaya yang menyentuh akar persoalan—dari sejarah lokal, dinamika sosial, hingga keberanian menciptakan inovasi yang tetap berpijak pada nilai—menjadi tantangan tersendiri.
Ajang Mojang Jajaka bukan hanya kontes kecantikan atau ketampanan berbusana adat. Ia adalah panggung generasi muda untuk menegaskan jati dirinya. Dalam konteks inilah, Mojang Jajaka dituntut bukan hanya tampil, tetapi juga memahami, mencintai, dan menghidupkan budaya yang diwakilinya.
"Menjadi duta budaya bukan soal tampil anggun dalam kebaya, tapi tentang berjalan dengan sejarah di punggung dan masa depan di dada," pungkasnya.
What's Your Reaction?






