Boys Will be Boys: Pemicu Subordinasi Perempuan

Apr 13, 2023 - 05:22
Boys Will be Boys: Pemicu Subordinasi Perempuan
ilustrasi

OPINI, INILAHTASIK.COM | “Boys will be boys” menjadi suatu ungkapan yang sering dijumpai pada saat laki-laki berkumpul di warung kopi. Ungkapan ini umumnya diucapkan untuk menormalisasi perilaku negatif yang dilakukan oleh laki-laki. Seperti perilaku laki-laki yang memandang perempuan dengan nafsu seksual, catcalling, atau candaan yang mengarah pada seksual. 

Ungkapan “Boys will be boys” menjadi tameng bahwa perilaku laki-laki yang merendahkan perempuan dianggap normal di masyarakat. Artikel ini ingin menyampaikan suatu gagasan mengenai normalisasi hal yang telah dianggap ‘Biasa’ padahal mengandung makna dan dampak negatif terhadap perempuan. 

Sebagai pembuka, piramida budaya perkosaan (rape culture) akan membantu sebagai pemahaman dasar dalam normalisasi ini.

Piramida budaya perkosaan (rape culture) menjelaskan tahapan normalisasi mengenai perilaku merendahkan perempuan yang berakhir pada terjadinya fenomena kekerasan seksual. 

Disusun dalam sebuah bentuk piramida, dimulai dari tahapan paling bawah berisi klaster “Normalisasi” seperti pembiasaan perilaku cat-calling, perilaku yang seksis, victim blaming, dan candaan seksual. 

Tahapan selanjutnya disebut “Degradasi” seperti perilaku revenge porn, mengirim video seksual, dan meraba lawan jenis tanpa kesepakatan (non-consent). 

Berangkat ke klaster ketiga yaitu puncak piramida. Puncak piramida diistilahkan sebagai “Assault” merupakan tahapan paling akhir yang disebabkan oleh “Normalisasi” yang berlanjut pada perilaku “Degradasi” sampai akhirnya berada pada tahapan puncak piramida. 

Klaster ketiga ini menjadi hasil dari perilaku normalisasi diawal yang berdampak pada terjadinya pelecehan seksual, pembunuhan, dan penganiayaan terhadap perempuan. 

Piramida ini sebagai pengingat bahwa normalisasi menjadi tahap awal dari terjadinya kekerasan seksual yang dialami oleh korban yang sebagian besar adalah perempuan. 

Ketika masyarakat menormalisasi perilaku seperti cat-calling, victim blaming, atau candaan yang mengandung seksual, bila melihat pada piramida rape culture bahwa perilaku tersebut berpotensi terhadap terjadinya kasus kekerasan seksual. 

Rape culture ini menganggap terjadinya kasus pemerkosaan sebagai sesuatu yang biasa terjadi di masyarakat, padahal dampaknya sangat merugikan korban.

Masyarakat tidak sadar bahwa perilaku cat-calling, candaan seksual, dan tatapan yang mengandung nafsu seksual merupakan hal yang merendahkan perempuan dikarenakan perilaku tersebut menjadi sesuatu yang dianggap normal di kehidupan sehari-hari. 

Tetapi tanpa sadar perilaku normalisasi tersebut berujung pada terjadinya kekerasan seksual. Pada tahapan “Normalisasi”, masyarakat belum sadar bahwa perilaku merendahkan perempuan merupakan tindakan yang tidak pantas dilakukan. 

Kenapa masyarakat sampai pada kesimpulan untuk menormalisasi perilaku yang merendahkan perempuan? Normalisasi tersebut muncul karena budaya patriarki yang terinternalisasi dalam pikiran dan diri setiap individu di masyarakat. 

Patriarki disebut sebagai sistem yang mensubordinasi perempuan, maksudnya menjadikan perempuan secara kedudukan berada di bawah laki-laki. Budaya patriarki telah lama disosialisasikan di masyarakat melalui sosial media, film, sistem pendidikan, dan kebiasaan di masyarakat yang mengandung nilai patriarkis. 

Simone de Beauvoir (1989) berargumen bahwa laki-laki melihat perempuan sebagai sesuatu yang berbeda dengannya, perempuan direduksi menjadi jenis kelamin kedua (the second sex) karenanya perempuan disubordinasikan dari laki-laki.

Budaya patriarki dapat dijumpai di tongkrongan laki-laki dalam konteks saat membicarakan suatu hal yang merendahkan perempuan. Misalnya, ketika laki-laki melakukan cat-calling terhadap perempuan, muncul ungkapan “Boys will be boys” seakan menjadi pembenaran bahwa memang perilaku laki-laki seperti demikian. 

Atau perilaku laki-laki saat melihat perempuan di tempat umum dengan nuansa seksual. Perempuan sebagai korban tentu merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut, tapi laki-laki dengan tameng “Boys will be boys” menjadikan hal tersebut biasa dan dianggap normal. 

Hal tersebut menjelaskan bahwa laki-laki memiliki kuasa (power) yang mendominasi perempuan, seakan-akan laki-laki memiliki kehendak untuk memandang perempuan bukan sebagai seorang manusia. 

Sesuatu yang harus dilakukan adalah berhenti menormalisasi pembicaraan dan perilaku yang merendahkan perempuan, dimulai dengan menghapus ungkapan “Boys will be boys” untuk menormalisasi perilaku laki-laki. 

Selain itu, setiap individu harus saling mengingatkan ketika pembicaraan di tongkrongan berhubungan dengan hal-hal yang merendahkan perempuan.

Penulis:
Tian A. Nugraha, Mahasiswa Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow