Penegakan Hukum Mandul, Kota Tasikmalaya Jadi Surga Para Pelanggar Aturan?

INILAHTASIK.COM | Akibat kekosongan hukum, dan tidak adanya kesesuaian peraturan dibawahnya pasca penetapan Undang Undang Ciptakerja, Kota Tasikmalaya kini menjadi surga bagi para pelanggar aturan.
Hal itu disampaikan, Irwan Supriadi, Juru Bicara Pergerakan Masyarakat Anti Korupsi (PEMANTIK), kepada wartawan, Minggu malam, 25 Mei 2025.
Menurutnya, fenomena berdirinya bangunan komersial, seperti gerai Alfamidi, di atas Lahan Sawah Dilindungi (LSD) tanpa mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) bukan lagi sekadar kelalaian administratif. Ini merupakan bukti nyata dari mandulnya pemerintahan daerah dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum.
"Secara hukum, pelanggaran ini sudah jelas bertentangan dengan perizinan yang diatur oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 jo. Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Pasal 24 ayat (1) mengatur bahwa PBG wajib diperoleh sebelum pembangunan, dan Pasal 36 mengharuskan SLF sebelum bangunan dapat difungsikan. Bahkan Pasal 185 memberi kewenangan sekaligus kewajiban kepada pemerintah daerah untuk menjatuhkan sanksi administratif, mulai dari penghentian hingga pembongkaran. PP Nomor 16 Tahun 2021 juga secara tegas menyatakan bangunan tanpa PBG adalah ilegal dan wajib ditindak," jelas Irwan.
Namun, lanjut dia, keanehan muncul dari regulasi daerah yang tampak seperti pura pura tidak tahu atau sengaja tidak menyesuaikan diri dengan peraturan perundang undangan yang baru. Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 3 Tahun 2013 dan Peraturan Wali Kota Nomor 64 Tahun 2012 masih terpaku pada istilah lama (IMB-red) yang sudah dicabut.
Dalam Perwalkot Nomor 32 Tahun 2024 yang baru, kata Irwan, ironisnya hanya mengatur pembebasan retribusi PBG untuk masyarakat miskin, tanpa menyentuh mekanisme penindakan untuk bangunan komersial yang jelas melanggar aturan.
"Inilah gambaran tragis birokrasi yang tak hanya mandul, tapi juga “cerewet” soal retribus, namun bungkam soal pelanggaran dan tata ruang. Tidak bisa menarik retribusi, tidak bisa menindak, dan akibatnya adalah pelanggaran yang makin menjadi, dilegalkan lewat kealpaan pemerintah," ujarnya.
Lebih jauh, Irwan menyebut, konversi LSD tanpa izin pusat sebagaimana diatur UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan jelas merupakan tindak pidana. Pelakunya dapat dikenakan sanksi dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan/atau denda Rp1 miliar.
"Namun sampai saat ini, tidak ada tindakan tegas yang terlihat dari Pemkot dan DPRD, seolah olah hukum itu hanya berlaku saat menguntungkan pihak tertentu," ungkapnya.
Menurutnya, ini adalah preseden berbahaya, ketika aparat negara yang seharusnya menjaga kedaulatan hukum justru memilih diam. Maka yang lahir adalah “kejahatan terstruktur” dalam tata ruang yang menggerogoti masa depan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
"DPRD dan Wali Kota, dalam posisi yang sangat dilematis, apakah mereka akan terus menjadi “pemeran utama” dalam panggung sandiwara pengabaian hukum, ataukah mau membuktikan bahwa mereka benar benar memegang kendali pemerintahan yang bersih dan berintegritas?," tanyanya.
Ia menuntut Wali Kota Viman agar segera menghentikan segala aktivitas operasional bangunan ilegal dan menegakkan sanksi administratif sesuai ketentuan yang berlaku.
Pihaknya juga mendesak DPRD Kota Tasikmalaya segera melakukan revisi Peraturan Daerah dan Perwal agar selaras dengan Undang Undang Cipta Kerja, tidak lagi menggunakan dalih aturan usang yang hanya melindungi pelanggar.
"Lakukan audit menyeluruh dan transparan terhadap semua bangunan di LSD dan kawasan strategis kota, agar tidak ada lagi celah pelanggaran tersembunyi. Penegakan hukum harus bersifat konsekuen dan tidak diskriminatif. Hukum harus ditegakkan, bukan ditawar tawar atau diabaikan demi kepentingan kelompok tertentu," tegasnya.
Irwan kembali menegaskan, jika DPRD dan Wali Kota memilih terus diam. Mereka bukan saja mengkhianati amanah rakyat, tetapi secara moral dan struktural turut serta dalam praktik pelanggaran hukum yang merusak tatanan sosial dan lingkungan.
"Saatnya Tasikmalaya keluar dari zona nyaman pelanggaran dan menjadi contoh kota yang berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu," tandasnya.
What's Your Reaction?






