Pementasan Duodrama NGAOS Art, Meta-Teater Ab Asmarandana

INILAHTASIK.COM | Hujan menetes seperti bisikan rahasia malam itu, namun di ruang pertunjukan NGAOS Art, panggung menyala. Di hadapan sekitar 30 penonton yang bertahan di tengah cuaca, lahirlah sebuah eksperimen panggung: satu naskah, enam tafsir berbeda.
Teater menjadi ladang penggalian, bukan pengulangan. Sebuah bentuk meta-teater, seperti yang diartikulasikan Lionel Abel—di mana pertunjukan sadar bahwa ia adalah pertunjukan, mencerminkan dirinya sendiri, mempertanyakan batas antara realitas dan fiksi.
Tubuh yang Bicara, Kata yang Menahan
Pementasan dibuka dengan energi tubuh. Empat aktor bertelanjang dada mengitari satu tokoh utama yang tampil sebagai dirigen paduan suara. Tanpa sapaan, tanpa kata, hanya tubuh dan irama yang bersuara. Fragmen ini menyentuh soal premanisme dan kekuasaan—tapi tak diselesaikan. Sebuah klimaks yang ditahan.
“Seperti zikir yang tak diulang,” kelakar Dr. Rahman Sabur, doktor seni pertunjukan, yang malam itu hadir, Sabtu, 10 Mei 2025.
Kahfi, aktor utama sekaligus MC malam itu, muncul dengan napas yang belum pulih. Tubuhnya menjadi residu dari peran yang baru saja ditinggalkan. Sebuah contoh teater total—menurut Antonin Artaud—di mana aktor menjadi medium pengalaman spiritual dan jasmaniah sekaligus, membiarkan tubuhnya terbakar oleh peran tanpa kompromi.
Mosaik Fragmen, Dunia sebagai Panggung
Duet aktor senior Dwi Feb dan R. Mustika membawa penonton ke tanah Pasundan. Bahasa Sunda digunakan bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi sebagai alat transkulturasi. Richard Schechner menyebutnya sebagai lokalisasi makna, di mana konteks budaya menjadi bagian integral dari dramaturgi. Dongeng, Hamlet, dan mimpi bercampur jadi satu.
“Saya merasa seperti pulang ke desa lewat mimpi,” ujar Sora, penonton asal Awipari.
Fragmen ketiga yang dibawakan Iki dan Nizar menampilkan realitas minimalis. Gerak sederhana, ditemani kawannya yang duduk bermain ponsel. Ini mencerminkan pendekatan Theatre of the Oppressed dari Augusto Boal—yang menjadikan keseharian sebagai ruang kontemplatif dan kritik sosial. Tubuh dan logat lokal jadi jembatan untuk menyentil realitas digital yang mengasingkan manusia dari dirinya sendiri.
Lingkar dan Are Pekasih hadir dengan formasi surealis: topeng, selendang, kursi saling membelakangi. Sebuah eksplorasi postdramatic theatre, seperti yang ditulis Hans-Thies Lehmann—teater yang menolak narasi linier dan memilih hadir sebagai peristiwa. Fragmen ini seperti montase mimpi.
“Saya merasa tak mengerti apa-apa, tapi tetap merasakan,” kata bia, salah satu penonton dari sukabumi.
“Mungkin memang bukan untuk dimengerti, tapi dirasa.. degdegan lihat aktor berkumis," tambahnya.
Kampus, Mpus, dan Tubuh Mahasiswa
Pendatang baru Arianto Ramadan membawakan monolog MPUS, sebuah permainan kata dari “kampus”. Kritiknya lembut tapi menyengat, mempertanyakan siapa sesungguhnya pemilik kurikulum. Ia menolak teatrikalitas retorik, memilih tubuh dan gestur sebagai senjata. Sebuah pendekatan poor theatre à la Jerzy Grotowski—mengandalkan tubuh dan niat, bukan kemegahan produksi.
Tubuh Muda, Tekad yang Menua
SMA 9 di bawah arahan Rika Jo dan Kribo menunjukkan ledakan energi muda. Rika tampil dengan artikulasi deklamatoris, tapi jujur. Kribo menyimpan trauma dalam tubuh panggungnya, menciptakan lapisan emosi yang tak terucap.
“Tubuh mereka seperti sedang mencari puing-puing identitas di tengah reruntuhan zaman,” ujar musa dari bata lengsar
Pementasan ke tujuh pemanggungan alfin dan dek fikri cukup kerepotan dengan tekhnik hingga gagasan premis di depan belum terkemas dengan baik..kata gilang dari perum amanda residen.
Panggung sebagai Bengkel
Dodoy dan Alfa menjadikan panggung sebagai “bengkel.” Alfa menampilkan teknik akting realis dalam bingkai berthold brehc—mengolah v effek, membongkar dinding ke 4 namun masih terperangkap hafalan. Dodoy tampil sembrono, namun terkontrol. Ia menunjukkan pemahaman akan kontrak aktor-penonton, seperti dijelaskan Eugenio Barba dalam The Paper Canoe—bahwa teknik panggung adalah seni membangun ketegangan dan kepercayaan.
Panggung Sebagai Tanya, Bukan Jawab
Teater malam itu tak menawarkan solusi. Ia membuka ruang tanya. Dalam semangat Peter Brook: “Teater hidup bila ia menjadi cermin yang retak.” Dalam retakan itulah penonton melihat dirinya sendiri—dalam cinta, ketakutan, nostalgia, dan absurditas.
“Ini bukan malam pementasan. Ini malam perenungan,” tulis Dr. Rahman Sabur di akhir catatannya.
Dr. Rahman menegaskan bahwa NGAOS telah menyusun puzzle dari tubuh-tubuh yang masih belajar percaya pada panggung.
"Dan itu sudah cukup untuk membuat hati ini percaya," pungkasnya.
What's Your Reaction?






