Ngaos Art Pentaskan "Made in China", Kritik Pedas atas Budaya Konsumtif dan Ketergantungan Global

Jun 29, 2025 - 13:32
Jun 29, 2025 - 13:34
Ngaos Art Pentaskan "Made in China", Kritik Pedas atas Budaya Konsumtif dan Ketergantungan Global

INILAHTASIK.COM - Ngaos Art Foundation kembali menyajikan pertunjukan yang menggugah nalar dan rasa publik Tasikmalaya. Pada sabtu malam (28/6), mereka mementaskan naskah teater berjudul Made in China di Studio Ngaos Art,. Pertunjukan ini menyentil berbagai persoalan bangsa, mulai dari budaya konsumtif, ketimpangan ekonomi global, hingga relasi diplomatik yang tak seimbang.

Disutradarai oleh Ab asmarandana, Made in China menyoroti sebuah keluarga yg tidak sederhana hidup dalam pusaran produk-produk buatan Tiongkok, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara ideologis. Mereka terjebak dalam pola hidup instan dan ketergantungan terhadap barang impor, hingga lupa bagaimana cara hidup yang mandiri dan bermartabat.

Pentas ini diperkuat oleh penampilan Kahfi Nurrul Anshor dan Rika Johahara sebagai tokoh utama, dengan iringan musik yang digarap oleh Alfin Noor Azmi, Ikhsan Kumis, Idan, dan Nizar. Tata cahaya ditangani oleh Iki Tuska, sementara paduan suara diisi oleh R. Mustika, Vintan, Andin Lingkar, Ama Dodoy, Kribo, Alfa, Fikri, Tania, Septi, Yuni, dan Arianto Ramadan. Artistik dipercayakan kepada Are Pekasih studio rumah palsu.dan pimpinan produksi Roni Ak 27 

Selain tim kreatif dan para aktor, pertunjukan ini juga dihadiri oleh tokoh publik Asep Syam dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menyatakan bahwa teater ini

“menjadi jendela penting untuk melihat bagaimana bangsa kita sedang kehilangan arah budaya.” terangnya.

Sebaliknya, pihak Pemerintah Kota Tasikmalaya tidak menunjukkan kehadiran atau dukungan. Wakil Wali Kota yang berlatar belakang seniman, tidak hadir dengan alasan yang belum dijelaskan secara rinci. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah terhadap ruang-ruang budaya alternatif.

Pementasan digelar di Studio Ngaos Art, Tasikmalaya, pada malam minggu, 28 Juni 2025. Studio ini dikenal sebagai ruang mandiri yang aktif mengembangkan teater kontekstual dan wacana sosial sejak beberapa tahun terakhir.

Pertunjukan Made in China tidak hanya membicarakan hubungan ekonomi Indonesia–Tiongkok, tetapi juga mempertanyakan bagaimana budaya luar bisa masuk begitu dalam tanpa disaring. Ia menantang penonton untuk merenungkan ulang apa arti menjadi bangsa yang merdeka—tidak hanya secara politik, tapi juga secara pikiran dan selera.

 Dari Descartes hingga Xi Jinping

Aprilia, founder dari banyak caffe di jawa barat salah satu penonton yang hadir malam itu, merasa pertunjukan ini membuka ruang tafsir filosofis. Ia bertanya, “Apa hubungannya Made in China dengan cogito ergo sum-nya René Descartes? Karena dalam pertunjukan ini, seolah tokoh-tokohnya tidak lagi berpikir untuk ada, tapi membeli untuk merasa eksis.” Ia menambahkan bahwa teater seperti ini penting untuk mengajak publik berpikir melampaui permukaan kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, Nazva, mantan mahasiswa bahasa indonesia di unsil, menyoroti konteks global. “Saya jadi kepikiran soal Presiden China, Xi Jinping, yang berani melawan dominasi Trump. Tapi di sisi lain, lewat pertunjukan ini, saya sadar bahwa perlawanan geopolitik China justru menjadikan kita pasar besar tanpa perlawanan. Ini paradoks yang menyakitkan.”

Respon publik cukup antusias, meskipun panggung hanya bisa menampung 30-an penonton. Beberapa menyebut bahwa pentas ini menjadi pengingat akan pentingnya produksi lokal, bukan hanya dalam barang, tapi juga dalam cara berpikir. Namun di tengah sambutan hangat dari komunitas, minimnya dukungan dari pemerintah menjadi ironi tersendiri.

Teater Made in China rencananya akan kembali dipentaskan dalam skala internasional di Lanjong Art International Festival di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tanpa sokongan anggaran dari pemerintah kota, tim berangkat dengan semangat kolektif dan iuran swadaya.

Karena kebudayaan bukan sekadar seremoni, tetapi urusan membentuk manusia. Dan teater seperti ini, mungkin satu-satunya ruang tersisa di mana bangsa masih bisa bercermin.

What's Your Reaction?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

AB Asmarandana ​AB Asmarandana, nama pena dari Budi Darma, M.Sn., adalah seorang seniman teater, penulis, dan dosen asal Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Saat ini Ia aktif sebagai dosen Prodi Sendratasik UMTAS dan mengembangkan seni pertunjukan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kutai Kartanegara dan Tasikmalaya.​